16 Februari 2018, merupakan hari pertama
saya menginjakkan kaki di Gunung Sibuatan, Sumatera Utara. Berawal dari seorang
teman yang bertanya kepada saya tentang detail lokasi dan keadaan Gunung
Sibuatan, lama-lama berakhir dengan ajakan mendaki bersama.
Gunung Sibuatan terletak di Desa
Nagalingga, Kab. Karo dan merupakan gunung tertinggi di Provinsi Sumatera Utara
dengan ketinggian 2.457 mdpl. Singkat cerita setelah semalaman menginap di kost
teman di Kabanjahe, saya, sahabat saya Zahra dan tiga orang lainnya yaitu Apis,
Iqmal dan Insan berangkat menuju Desa Nagalingga dengan menggunakan tiga buah
sepeda motor. Beberapa hari sebelum kami berangkat, seperti biasa kami membuat group
chat untuk membahas bagaimana keadaan tempat yang akan kami tuju, apa saja
kendala yang akan dialami, waktu untuk mencapai tempat tersebut, masalah
transportasi, logistik dan hal-hal lain yang harus dipersiapkan sebelum pergi.
Dari kesepakatan, kami seharusnya berangkat pagi-pagi sekitar jam 6, karena
dari beberapa informasi, Gunung Sibuatan merupakan gunung yang jarak tempuh
untuk sampai ke puncak bisa menghabiskan waktu sekitar 6-8 jam. Selain itu,
keadaan hutan yang masih sangat rapat dan merupakan hutan hujan, membuat
pendaki rentan mengalami hipotermia ketika menaiki gunung tersebut, sehingga
kami harus bisa sampai ke shelter 5 atau shelter terakhir sebelum
hari gelap. Namun karena satu dan lain hal, kami baru berangkat dari Kabanjahe
menuju Desa Nagalingga sekitar jam 10 siang.
Sampai di Desa Nagalingga kami mulai
mencari jalan menuju base camp Gunung Sibuatan. Awalnya kami sempat tersesat,
tapi beruntung kami bertemu dengan salah seorang warga dan akhirnya kami
diarahkan warga tersebut menuju base camp Gunung Sibuatan. Di base
camp seperti biasa kami harus melakukan registrasi sebelum mendaki dan ada
yang unik di sini, sebelum mendaki semua barang-barang kami dibongkar kembali
untuk di cek apa saja yang boleh dibawa dan tidak boleh, serta dihitung seluruh
jumlahnya. Semua jumlah dan jenis barang yang kami bawa dicatat oleh petugas,
kami diberi tahu bahwa seluruh barang bawaan yang telah dicatat oleh petugas
akan diperiksa kembali setelah kami turun, apabila kurang, maka akan didenda
sebanyak 100 ribu rupiah untuk satu barang yang hilang atau tertinggal di atas.
Peraturan yang luarbiasa ketat, sebenarnya agak menjadi beban tersendiri bagi
kami, apalagi barang yang sudah kami susun rapih dari rumah harus dibongkar
lagi hanya untuk diperiksa dan dicatat, tapi positifnya hal ini dilakukan guna
menjaga kelestarian dari Gunung Sibuatan itu sendiri.
Setelah selesai registrasi dan pengecekan
oleh petugas, kami merapihkan kembali barang-barang kami, waktu telah
menunjukkan pukul 11.30 WIB, sebelum mendaki, kami memenuhi perut kami dengan
nasi padang yang sempat kami beli sebelum pergi ke sini, di tengah rimbunnya
pepohonan, kami menikmati sebungkus nasi padang di atas matras yang di gelar
tepat di bawah pohon. Sejuk dan nikmat, tapi tanpa kami sadari ternyata kami
duduk di tanah ladang milik salah seorang warga, kami jadi sangat merasa
bersalah dan berulang kali meminta maaf, tapi memang warga di sini ramah dan
baik hati, dengan lapang dada beliau memaafkan kecerobohan kami. Untuk ibu dan
bapak yang ladangnya sempat kami duduki, sekali lagi maafkan atas kekhilafan
dan ketidak tahuan kami ya. Semoga kalian selalu sehat dan diberikan limpahan
rezeki dari yang Maha Kuasa.
Tepat pukul 12.00 WIB, kami memulai
pendakian kami, sebelum pergi tentunya kami tak lupa untuk berdoa, meminta agar
pendakian kami diberikan perlindungan dan keselamatan oleh Sang Maha Hidup. Petugas
di base camp tak lupa memperingatkan agar kami jangan berhenti dan terus
berjalan agar bisa sampai ke shelter 5 sebelum maghrib, mengingat
pendakian yang kami lakukan sudah terlalu siang. Selain itu kami juga diberi
tahu untuk mempersiapkan diri ketika sampai di shelter 4, karena mulai
dari sana udara semakin dingin sehingga merupakan daerah yang rawan akan
hipotermia. Dari awal pintu rimba kami di suguhi aliran sungai yang airnya
dingin dan menyegarkan, tak lupa sebelum mulai mendaki, kami mengambil air dari
sungai tersebut sebagai bekal kami di atas sana. Langkah kami kemudian
berlanjut menjejaki tanjakkan yang cukup tinggi, setelah itu menyusuri jalan
yang lumayan lapang dan landai, di sekelilingnya dipagari oleh pohon-pohon
tinggi dan ada beberapa ladang warga juga di sini. Tantangan kami selanjutnya
adalah berjalan menapaki jalan panjang menuju shelter 1. Dari sini
tanahnya cukup datar dan kering, perjalanan juga lancar dan tidak ada masalah
apapun, tapi setelah berjalan sekitar setengah sampai satu jam, kaki saya mulai
merasakan sakit yang luar biasa. Paha saya kram dan tidak bisa digerakkan. Ini
adalah hal yang baru pertamakali saya rasakan, beberapakali saya meminta untuk
menghentikan perjalanan dan mengistirahatkan kaki saya yang kaku dan kesakitan.
Sekitar dua sampai tiga menit saya berhenti dan membaluri kaki saya dengan krim
penghilang rasa sakit, begitu terus berulang kali sehingga perjalanan menjadi
sangat lambat.
Setelah beristirahat sejenak saya kembali
melanjutkan perjalanan, kami berlima berjalan membuat satu banjar, saya dan
Zahra berjalan di tengah, di barisan depan ada Apis dan Iqmal yang memandu dan
mencari jalan, lalu satu orang lagi yaitu Insan di belakang saya menjadi
penjaga dan alarm bagi yang lain ketika saya minta berhenti karena kaki
saya yang kembali merasa sakit. Lebar trek lama-kelamaan semakin sempit dengan
vegetasi yang semakin padat dan lebat. Tanjakkan yang cukup curam juga beberapa
kali kami lalui, jalanan yang kami lalui mulai menemukan dinamikanya, terkadang
naik dan terkadang turun. Beberapakali juga sepatu kami terjebak ke dalam
lumpur setinggi mata kaki. Sinar matahari benar-benar minim di sini, hutan juga
mulai didominasi oleh pohon-pohon yang berlumut, udara semakin lama semakin
dingin dan lembab, serta akar-akar pohon semakin lama semakin panjang dan
besar-besar. Ritme perjalanan kami pun semakin lambat karena ulah kaki saya
yang berulang kali minta berhenti untuk dipijat, belum lagi sempat juga kami
diguyur hujan yang datang tiba-tiba dan berhenti pula tiba-tiba. Dalam hati,
saya sempat memaki diri sendiri karena merasa bersalah. Saya merasa bersalah
karena telah menjadi penghambat bagi yang lain untuk bisa berjalan cepat dan
merasa bersalah karena tidak mempersiapkan diri untuk melakukan pendakian. Ini
adalah pelajaran penting dan berharga untuk saya, jangan berani ikut mendaki
kalau sebelumnya tidak pernah melakukan latihan fisik. Hal yang sederhana tapi
benar-benar berpengaruh ketika sudah sampai di medan pendakian. Setidaknya
dengan sering latihan fisik meskipun ringan seperti misalnya jogging akan
membuat tubuh menjadi lebih terbiasa untuk menghadapi jalur panjang seperti di
gunung dan otot menjadi tidak tegang ketika diajak berjalan jauh.
Trek di Gunung Sibuatan |
Istirahat sejenak sebelum melanjutkan perjalanan |
Sudah sekitar hampir lima jam kami mendaki,
shelter 1 belum juga kami temukan, atau mungkin saja kami sudah melewati
beberapa shelter namun kami tidak menemukan tandanya. Saya kembali
meminta untuk berhenti, kaki saya benar-benar sakit saat itu, rasanya saya sudah
tidak mampu lagi melanjutkan perjalanan. Zahra saat itu menyarankan untuk
kembali turun jika saya mau, dia bilang, dia akan ikut turun jika memang saya
tidak sanggup. Hati saya bergetar, rasa bersalah kembali menyerang, Apis, Insan
dan Iqmal bilang untuk jangan menyerah, mereka bilang, berjalan lambat dan
banyak istirahat tidak apa-apa, yang penting sampai, jangan terlalu dipaksakan,
kalau sakit bilang saja. Saya hampir menangis saat itu, tapi saya tahan air
mata saya untuk tidak jatuh. Dengan tekad yang kuat saya kembali memutuskan
untuk melanjutkan perjalanan, saya yakin pasti bisa.
Sekitar 17.00 WIB kami berhenti di sebuah
jalur yang cukup lapang, ada beberapa orang yang juga sedang berhenti untuk
bersitirahat di sana. Mereka bilang tempat tersebut adalah shelter 4, dari
shelter 4 ini kami kembali diberi tahu untuk berjalan lebih cepat karena
udara semakin dingin menusuk tulang, lagi-lagi kami diperingatkan soal ancaman
hipotermia. Di shelter 4 kami berhenti sejenak untuk istirahat, shalat,
makan dan minum sedangkan rombongan lain pamit untuk melanjutkan pendakian.
Saya duduk lalu mengistirahatkan kaki saya yang masih sedikit sakit, Zahra
mulai tertidur karena kelelahan dan tiga orang yang lain melaksanakan shalat
berjamaah, setelah mereka selesai shalat, giliran saya dan Zahra yang
melaksanakan shalat.
Insan dan Apis sebelum beristirahat di Shelter 4 |
Zahra dan saya yang sedang beristirahat di Shelter 4 |
Udara dingin mulai menyergap, benar saja,
lama-kelamaan dinginnya hampir menusuk tulang. Waktu sudah menunjukkan hampir
jam 6 sore, langit sudah mulai gelap, setelah sekitar setengah jam kami
beristirahat dan kaki saya juga sudah dirasa mampu untuk melanjutkan pendakian,
akhirnya kami bergegas untuk berjalan menyusuri shelter 4 menuju shelter
5. Baru beberapa langkah mata kami sedikit dikejutkan dengan tanjakkan yang
cukup tajam. Tanjakkan yang terbuat dari akar-akar pohon besar sebagai pijakkan
sekaligus pegangannya. Mulai dari sini kesabaran, ketabahan hati, kekuatan
fisik dan mental kami diuji. Untuk kami yang baru pertamakali mendaki Gunung
Sibuatan, pengalaman ini tidak akan kami (khususnya saya) lupakan.
To be continued…
Pengalaman yang menakjubkan. Alamnya nampak masih asri. Semoga Tuhan ijinkan saya ke Gunung Sibuatan nanti.
BalasHapusAamin yaa rabbal alamiin...
Hapus