Melanjutkan kisah sebelumnya...
Setelah sekitar
hampir satu jam kami beristirahat, kami kembali memulai pendakian. Dari shelter
4 menuju shelter 5 memiliki jalur yang bisa dibilang cukup extreme.
Jalur dengan tanjakan yang terbuat dari akar-akar besar dan tinggi membuat kami
menelan ludah dibuatnya belum lagi udara semakin dingin perlahan mulai terasa
menusuk sampai ke tulang dan saya pun semakin resah memikirkan keadaan kaki
saya yang sering kumat-kumatan.
Sebelum
melanjutkan pendakian tak lupa kami berdoa dalam hati kami masing-masing
memohon kepada Sang Pencipta agar diberi keselamatan dalam perjalanan mengingat
kami kembali mendaki diwaktu hampir gelap. Setelah mengemas barang-barang dan
mempersiapkan diri, kami mulai mendaki dengan ritme sedikit cepat. Formasi
masih sama dengan sebelumnya, tetap Apis dan Iqmal di depan saya dan Zahra,
sementara Insan bersiaga di belakang kami berdua. Dengan tracking pole
di tangan sebelah kanan, saya mulai menanjaki akar-akar dan batang-batang pohon
tempat kaki kami berpijak. Sempat beberapa kali kami mendapati tanjakan yang
tingginya melewati tinggi tubuh kami sehingga kami harus memilih dan memilah
kemana tangan dan kaki kami akan bertumpu. Begitu seterusnya hingga hari mulai gelap
dan kami harus menyiapkan senter dan headlamp sebagai penerang jalan
kami.
Selama
pendakian kami seringkali menemui jalanan yang cukup landai, kami pikir akan
menjadi jalur landai yang panjang namun seringnya hanya sekitar dua sampai
empat langkah saja, selebihnya kembali kami disuguhkan dengan akar dan batang
pohon yang tinggi membentuk anak tangga tak beraturan. Apis dan Iqmal beberapakali
sempat sedikit mengeluh merasakan jalur menuju shelter 5 katanya track-nya luar
biasa. Untuk Apis yang juga sudah pernah mendaki gunung-gunung di Pulau Jawa,
ia mengakui bahwa baru pertamakali ia merasakan jalur pendakian seperti di
Gunung Sibuatan, luar biasa lelah dan sangat menguji kesabaran.
Waktu sudah
menunjukkan sekitar pukul 8 malam, kami belum juga menemukan tanda-tanda
kehidupan. Dalam gelap gulitanya malam, di jalur ini hanya tinggal kami berlima,
di depan maupun di belakang tidak ada tanda-tanda rombongan pendaki lain. Tidak
heran, semua pendaki yang ingin ke Gunung Sibuatan bilang, mereka menghindari
untuk melakukan pendakian pada malam hari, hanya kami yang mungkin nekat untuk
tetap melakukannya (cerita ini tentunya bukan untuk ditiru tapi untuk
diambil hikmahnya). Saya, Zahra, Insan, Apis dan Iqmal, berbekal
penerangan seadanya dari lampu senter dan headlamp masih terus
menelusuri jalur yang luar biasa melelahkan ini. Pendakian pada malam hari dan
pengalaman pertama kami kemari menjadi faktor langkah kami melambat. Hanya
dengan pencahayaan seadanya kami harus mencari jalan yang baru pertamakali kami
jejaki, belum lagi karena tempat kami berdiri semakin tinggi, semakin tipis
pula udara dan cuaca semakin dingin.
Sudah hampir setengah
perjalanan kami mendaki, kami berhenti karena Zahra mengeluh kelelahan,
wajahnya sedikit pucat. Ia bilang staminanya turun setelah tadi beristirahat di
shelter 4. Di shelter 4 tadi Zahra tertidur, keadaan tersebut
sepertinya membuat metabolismenya menurun, hal ini membuatnya harus mengulang dari
nol untuk menyesuaikan keadaan tubuhnya dengan keadaan lingkungan sekitarnya,
dan hal tersebut sulit dilakukan mengingat hari yang sudah semakin larut,
keadaan udara yang semakin dingin dan jalur pendakian yang semakin berat.
“Gue udah
enggak sanggup. Capek banget” begitu katanya, dengan wajahnya yang terlihat
kelelahan dalam remang cahaya lampu senter menyorotinya. Kami hanya bisa
berusaha menyemangati meski kami sendiri juga mengakui perjalanan malam ini cukup
berat, ingin menangis saja rasanya, tapi malu. Zahra mengangguk, ia berusaha
untuk kembali berjalan, saya pun ikut di belakangnya dengan keadaan kaki saya
yang sudah jauh lebih bersahabat dari sebelumnya.
Kami kembali
berhenti, Zahra berkata “Gue udah capek banget, gue enggak kuat. Gue nenda di
sini aja deh. Kalian duluan aja, nanti pagi gue nyusul”, lagi katanya dan saya
dengan spontan menyauti “Kalo gitu, gue ikut nenda sama Zahra di sini. Kalian
duluan aja enggak apa-apa” dengan penuh ketegaran menutupi rasa takut yang
sebenarnya berkecamuk dalam hati, melihat saat itu kami berhenti di tengah
hutan lumut yang sangat rimbun dan padat. Pikiran Zahra saat itu mungkin sedang
kalut karena kelelahan dan saya saat itu khawatir tidak mungkin meninggalkan ia
sendirian, kami tidak dapat berpikir jernih.
Iqmal, Apis dan
Insan tidak menghiraukan keinginan kami, mereka terus menyemangati meski kami
tetap bersikeras untuk tinggal. Memang kalau dipikir ulang, terlalu berisiko mendirikan tenda di tengah hutan seperti ini dengan hanya ada dua orang perempuan di dalamnya. Mereka bertiga lalu menawarkan bantuan untuk
membawakan carrier kami berdua. Mereka bilang agar kami pergi duluan dan
meminta bantuan jika sudah sampai shelter 5, kami berpikir sejenak lalu
mempertimbangkan. Ada rasa tidak enak di hati kami, mereka bertiga sudah
terlalu sering membantu dan direpotkan oleh kami. Dengan pertimbangan yang
matang, akhirnya kami menyetujui. Kami melepas carrier kami dan mulai
berjalan berdua mendahului Apis, Iqmal dan Insan, sedang mereka bertiga
bergantian membawa carrier milik kami berdua.
Saya dan Zahra
akhirnya berjalan menyusuri jalur pendakian hanya berdua, badan kami yang
terasa ringan tanpa beban membuat kami berjalan cukup cepat meninggalkan
teman-teman kami di belakang. Lagi, kami berjalan dengan penerangan seadanya
berbekal satu lampu senter yang dipegang oleh Zahra. Saat itu kami
masing-masing terdiam berdoa dalam hati meminta agar semuanya berjalan dengan
baik tanpa ada hal yang tidak diinginkan terjadi. Setelah sekitar satu jam
lebih kami berjalan, kami berdua berhenti sejenak untuk beristirahat. Waktu
sudah menunjukkan pukul 10 malam. Kami duduk berdiam diri, menyinari jalur yang
tadi kami daki untuk melihat apakah ketiga teman-teman kami berhasil menyusul.
Beberapa kali kami berteriak memanggil namun tidak ada tanda-tanda mereka
mendengar kami, sepertinya kami berdua sudah terlalu jauh dari Iqmal, Apis dan
Insan.
Setelah
mengistirahatkan kaki kami sejenak, kami berdua kembali melanjutkan perjalanan.
Seperti sebelumnya, kami hanya berjalan berdua sembari memanjatkan doa-doa,
entah mengapa kami rasa pendakian ini sangat panjang. Telah lama kami berjalan
namun belum juga mendapati tanda-tanda kehidupan. Mengikuti insting yang
mungkin saja bisa salah, kami terus melangkah meski beberapa kali ragu. Makin
lama berjalan, kami merasa semakin dekat dengan puncak, pohon-pohon yang tadinya
rimbun menutupi langit semakin lama semakin lebar membuka jalan masuk bagi
sinar bulan. Sayup-sayup suara gitar dan tawa orang-orang mulai terdengar,
sontak kami berjalan lebih cepat, terutama Zahra, saya yang berada di belakangnya
sempat tertinggal dan berteriak memanggil meminta untuk ditunggu. Sesekali kaki saya sempat membentur akar, sakit rasanya. Sempat juga hampir terjatuh karena tersandung, saat itu ingin rasanya saya menangis lalu meluapkan semua keluh kesah, tapi saya memilih untuk menahan air mata saya. Dan saat itu pula saya sadar, saya bisa saja celaka jika berjalan tanpa membawa bekal penerangan yang cukup, ingin memaki rasanya, tapi ada aturan penting jika ingin melakukan pendakian. Jangan pernah berkata kasar di gunung, menjaga etika berbicara itu penting karena apapun bisa terjadi di sana. Kalian pasti paham apa yang saya maksud.
Kami beberapa
kali berteriak meminta bantuan namun tidak ada yang menyahuti. Beberapa kali
juga saya meniup peluit dari jaket milik Zahra, berharap ada yang mendengar
kami, namun hasilnya nihil. Kami hanya bisa kembali melanjutkan pendakian
berharap shelter 5 hanya tinggal beberapa langkah di depan kami meski
hasilnya kami hanya kembali disuguhi jalan panjang tak berujung. Karena merasa
lelah akhirnya kami kembali berhenti untuk berisitrahat, saat itulah saya menyesal
tidak membawa apa pun ketika memutuskan untuk ikut pergi mendahului ketiga
teman yang lain. Saya baru ingat kalau jaket saya berada di dalam carrier
dan saya harus duduk beristirahat dengan menahan udara dingin hanya menggunakan
pakaian yang sedang saya pakai saat itu.
Saya dan Zahra
duduk sembari berpegangan tangan menahan rasa dingin yang mulai membekukan
jari-jari kami, mendengarkan lantunan ayat suci Al-Qur’an dan berdoa dalam
hati. Sunyi mengelilingi kami, hanya terdengar suara angin saat itu meski sayup-sayup kami mendengar riuh suara kehidupan di atas sana, namun yang di atas sepertinya tidak dapat mendengar teriakan minta tolong kami. Saat itu pikiran kami berdua
benar-benar kacau, hati kami juga takut luar biasa. Bayangkan saja, dua orang
perempuan dimalam hari berada di tengah hutan tanpa membawa bekal apapun. Resah
mulai menyergap menyelimuti kami, bagaimana jika saya dan Zahra tidak selamat
di sini? Tidak ada siapapun yang bisa kami mintai bantuan, hanya ada kami berdua.
Selain itu kami juga tak tahu nasib ketiga teman kami di bawah sana…
To be continued…
Komentar
Posting Komentar