Langsung ke konten utama

Gunung Sibuatan Part 2 : Kami Berada di Tengah Sepi




Melanjutkan kisah sebelumnya...

Setelah sekitar hampir satu jam kami beristirahat, kami kembali memulai pendakian. Dari shelter 4 menuju shelter 5 memiliki jalur yang bisa dibilang cukup extreme. Jalur dengan tanjakan yang terbuat dari akar-akar besar dan tinggi membuat kami menelan ludah dibuatnya belum lagi udara semakin dingin perlahan mulai terasa menusuk sampai ke tulang dan saya pun semakin resah memikirkan keadaan kaki saya yang sering kumat-kumatan.

Sebelum melanjutkan pendakian tak lupa kami berdoa dalam hati kami masing-masing memohon kepada Sang Pencipta agar diberi keselamatan dalam perjalanan mengingat kami kembali mendaki diwaktu hampir gelap. Setelah mengemas barang-barang dan mempersiapkan diri, kami mulai mendaki dengan ritme sedikit cepat. Formasi masih sama dengan sebelumnya, tetap Apis dan Iqmal di depan saya dan Zahra, sementara Insan bersiaga di belakang kami berdua. Dengan tracking pole di tangan sebelah kanan, saya mulai menanjaki akar-akar dan batang-batang pohon tempat kaki kami berpijak. Sempat beberapa kali kami mendapati tanjakan yang tingginya melewati tinggi tubuh kami sehingga kami harus memilih dan memilah kemana tangan dan kaki kami akan bertumpu. Begitu seterusnya hingga hari mulai gelap dan kami harus menyiapkan senter dan headlamp sebagai penerang jalan kami.

Selama pendakian kami seringkali menemui jalanan yang cukup landai, kami pikir akan menjadi jalur landai yang panjang namun seringnya hanya sekitar dua sampai empat langkah saja, selebihnya kembali kami disuguhkan dengan akar dan batang pohon yang tinggi membentuk anak tangga tak beraturan. Apis dan Iqmal beberapakali sempat sedikit mengeluh merasakan jalur menuju shelter 5 katanya track-nya luar biasa. Untuk Apis yang juga sudah pernah mendaki gunung-gunung di Pulau Jawa, ia mengakui bahwa baru pertamakali ia merasakan jalur pendakian seperti di Gunung Sibuatan, luar biasa lelah dan sangat menguji kesabaran.

Waktu sudah menunjukkan sekitar pukul 8 malam, kami belum juga menemukan tanda-tanda kehidupan. Dalam gelap gulitanya malam, di jalur ini hanya tinggal kami berlima, di depan maupun di belakang tidak ada tanda-tanda rombongan pendaki lain. Tidak heran, semua pendaki yang ingin ke Gunung Sibuatan bilang, mereka menghindari untuk melakukan pendakian pada malam hari, hanya kami yang mungkin nekat untuk tetap melakukannya (cerita ini tentunya bukan untuk ditiru tapi untuk diambil hikmahnya). Saya, Zahra, Insan, Apis dan Iqmal, berbekal penerangan seadanya dari lampu senter dan headlamp masih terus menelusuri jalur yang luar biasa melelahkan ini. Pendakian pada malam hari dan pengalaman pertama kami kemari menjadi faktor langkah kami melambat. Hanya dengan pencahayaan seadanya kami harus mencari jalan yang baru pertamakali kami jejaki, belum lagi karena tempat kami berdiri semakin tinggi, semakin tipis pula udara dan cuaca semakin dingin.

Sudah hampir setengah perjalanan kami mendaki, kami berhenti karena Zahra mengeluh kelelahan, wajahnya sedikit pucat. Ia bilang staminanya turun setelah tadi beristirahat di shelter 4. Di shelter 4 tadi Zahra tertidur, keadaan tersebut sepertinya membuat metabolismenya menurun, hal ini membuatnya harus mengulang dari nol untuk menyesuaikan keadaan tubuhnya dengan keadaan lingkungan sekitarnya, dan hal tersebut sulit dilakukan mengingat hari yang sudah semakin larut, keadaan udara yang semakin dingin dan jalur pendakian yang semakin berat.
“Gue udah enggak sanggup. Capek banget” begitu katanya, dengan wajahnya yang terlihat kelelahan dalam remang cahaya lampu senter menyorotinya. Kami hanya bisa berusaha menyemangati meski kami sendiri juga mengakui perjalanan malam ini cukup berat, ingin menangis saja rasanya, tapi malu. Zahra mengangguk, ia berusaha untuk kembali berjalan, saya pun ikut di belakangnya dengan keadaan kaki saya yang sudah jauh lebih bersahabat dari sebelumnya.

Kami kembali berhenti, Zahra berkata “Gue udah capek banget, gue enggak kuat. Gue nenda di sini aja deh. Kalian duluan aja, nanti pagi gue nyusul”, lagi katanya dan saya dengan spontan menyauti “Kalo gitu, gue ikut nenda sama Zahra di sini. Kalian duluan aja enggak apa-apa” dengan penuh ketegaran menutupi rasa takut yang sebenarnya berkecamuk dalam hati, melihat saat itu kami berhenti di tengah hutan lumut yang sangat rimbun dan padat. Pikiran Zahra saat itu mungkin sedang kalut karena kelelahan dan saya saat itu khawatir tidak mungkin meninggalkan ia sendirian, kami tidak dapat berpikir jernih.

Iqmal, Apis dan Insan tidak menghiraukan keinginan kami, mereka terus menyemangati meski kami tetap bersikeras untuk tinggal. Memang kalau dipikir ulang, terlalu berisiko mendirikan tenda di tengah hutan seperti ini dengan hanya ada dua orang perempuan di dalamnya. Mereka bertiga lalu menawarkan bantuan untuk membawakan carrier kami berdua. Mereka bilang agar kami pergi duluan dan meminta bantuan jika sudah sampai shelter 5, kami berpikir sejenak lalu mempertimbangkan. Ada rasa tidak enak di hati kami, mereka bertiga sudah terlalu sering membantu dan direpotkan oleh kami. Dengan pertimbangan yang matang, akhirnya kami menyetujui. Kami melepas carrier kami dan mulai berjalan berdua mendahului Apis, Iqmal dan Insan, sedang mereka bertiga bergantian membawa carrier milik kami berdua.

Saya dan Zahra akhirnya berjalan menyusuri jalur pendakian hanya berdua, badan kami yang terasa ringan tanpa beban membuat kami berjalan cukup cepat meninggalkan teman-teman kami di belakang. Lagi, kami berjalan dengan penerangan seadanya berbekal satu lampu senter yang dipegang oleh Zahra. Saat itu kami masing-masing terdiam berdoa dalam hati meminta agar semuanya berjalan dengan baik tanpa ada hal yang tidak diinginkan terjadi. Setelah sekitar satu jam lebih kami berjalan, kami berdua berhenti sejenak untuk beristirahat. Waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam. Kami duduk berdiam diri, menyinari jalur yang tadi kami daki untuk melihat apakah ketiga teman-teman kami berhasil menyusul. Beberapa kali kami berteriak memanggil namun tidak ada tanda-tanda mereka mendengar kami, sepertinya kami berdua sudah terlalu jauh dari Iqmal, Apis dan Insan.

Setelah mengistirahatkan kaki kami sejenak, kami berdua kembali melanjutkan perjalanan. Seperti sebelumnya, kami hanya berjalan berdua sembari memanjatkan doa-doa, entah mengapa kami rasa pendakian ini sangat panjang. Telah lama kami berjalan namun belum juga mendapati tanda-tanda kehidupan. Mengikuti insting yang mungkin saja bisa salah, kami terus melangkah meski beberapa kali ragu. Makin lama berjalan, kami merasa semakin dekat dengan puncak, pohon-pohon yang tadinya rimbun menutupi langit semakin lama semakin lebar membuka jalan masuk bagi sinar bulan. Sayup-sayup suara gitar dan tawa orang-orang mulai terdengar, sontak kami berjalan lebih cepat, terutama Zahra, saya yang berada di belakangnya sempat tertinggal dan berteriak memanggil meminta untuk ditunggu. Sesekali kaki saya sempat membentur akar, sakit rasanya. Sempat juga hampir terjatuh karena tersandung, saat itu ingin rasanya saya menangis lalu meluapkan semua keluh kesah, tapi saya memilih untuk menahan air mata saya. Dan saat itu pula saya sadar, saya bisa saja celaka jika berjalan tanpa membawa bekal penerangan yang cukup, ingin memaki rasanya, tapi ada aturan penting jika ingin melakukan pendakian. Jangan pernah berkata kasar di gunung, menjaga etika berbicara itu penting karena apapun bisa terjadi di sana. Kalian pasti paham apa yang saya maksud.

Kami beberapa kali berteriak meminta bantuan namun tidak ada yang menyahuti. Beberapa kali juga saya meniup peluit dari jaket milik Zahra, berharap ada yang mendengar kami, namun hasilnya nihil. Kami hanya bisa kembali melanjutkan pendakian berharap shelter 5 hanya tinggal beberapa langkah di depan kami meski hasilnya kami hanya kembali disuguhi jalan panjang tak berujung. Karena merasa lelah akhirnya kami kembali berhenti untuk berisitrahat, saat itulah saya menyesal tidak membawa apa pun ketika memutuskan untuk ikut pergi mendahului ketiga teman yang lain. Saya baru ingat kalau jaket saya berada di dalam carrier dan saya harus duduk beristirahat dengan menahan udara dingin hanya menggunakan pakaian yang sedang saya pakai saat itu.

Saya dan Zahra duduk sembari berpegangan tangan menahan rasa dingin yang mulai membekukan jari-jari kami, mendengarkan lantunan ayat suci Al-Qur’an dan berdoa dalam hati. Sunyi mengelilingi kami, hanya terdengar suara angin saat itu meski sayup-sayup kami mendengar riuh suara kehidupan di atas sana, namun yang di atas sepertinya tidak dapat mendengar teriakan minta tolong kami. Saat itu pikiran kami berdua benar-benar kacau, hati kami juga takut luar biasa. Bayangkan saja, dua orang perempuan dimalam hari berada di tengah hutan tanpa membawa bekal apapun. Resah mulai menyergap menyelimuti kami, bagaimana jika saya dan Zahra tidak selamat di sini? Tidak ada siapapun yang bisa kami mintai bantuan, hanya ada kami berdua. Selain itu kami juga tak tahu nasib ketiga teman kami di bawah sana…

To be continued…

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gunung Sibuatan Part 1 : Perkenalan Yang Menyakitkan

  16 Februari 2018, merupakan hari pertama saya menginjakkan kaki di Gunung Sibuatan, Sumatera Utara. Berawal dari seorang teman yang bertanya kepada saya tentang detail lokasi dan keadaan Gunung Sibuatan, lama-lama berakhir dengan ajakan mendaki bersama. Gunung Sibuatan terletak di Desa Nagalingga, Kab. Karo dan merupakan gunung tertinggi di Provinsi Sumatera Utara dengan ketinggian 2.457 mdpl. Singkat cerita setelah semalaman menginap di kost teman di Kabanjahe, saya, sahabat saya Zahra dan tiga orang lainnya yaitu Apis, Iqmal dan Insan berangkat menuju Desa Nagalingga dengan menggunakan tiga buah sepeda motor. Beberapa hari sebelum kami berangkat, seperti biasa kami membuat group chat untuk membahas bagaimana keadaan tempat yang akan kami tuju, apa saja kendala yang akan dialami, waktu untuk mencapai tempat tersebut, masalah transportasi, logistik dan hal-hal lain yang harus dipersiapkan sebelum pergi. Dari kesepakatan, kami seharusnya berangkat pagi-pagi sekitar j...

Intermezzo : Ucapkan Setiap Hari "Aku Bersyukur..."

Syukur adalah sebuah hal yang diidamkan banyak orang untuk bisa dirasakan dengan sangat mudah, tetapi kenyataannya tidaklah mudah. Rasa syukur adalah perasaan yang wajib manusia miliki agar tetap hidup membumi, agar tetap merasa cukup dengan apa yang telah dimiliki, agar senantiasa berterimakasih dan merasa beruntung dengan segala hal yang terjadi dalam hidup. Hari Jum'at sore setelah saya dan Zahra selesai mengunjungi salah satu festival yang diadakan di Senayan kami pulang ke rumah kami masing-masing. Zahra menggunakan Commuter Line jurusan Bogor, sedang saya menaiki Commuter Line jurusan Tanah Abang untuk selanjutnya turun di Duri dan berpindah kereta jurusan ke Tangerang. Perjalanan sore itu cukup melelahkan untuk saya, naik kereta dari Stasiun Duri menuju Tangerang, saya harus sedikit berdesakkan dan berebut tempat duduk karena padatnya penumpang saat itu. Perjalanan dengan kendaraan umum memang tidak pernah nyaman dan tidak pernah mudah. Terkadang harus berdesa...