Melanjutkan
kisah sebelumnya...
Saya
dan Zahra berdiam diri, membaca banyak doa sembari berpegangan tangan untuk
menghangatkan jari-jari kami yang mulai terasa membeku. Dalam sunyi malam saat
itu, kami hanya bisa berharap teman-teman kami yang lain dapat segera menyusul
kami. Sesekali suara kehidupan dari atas sana terdengar dan sesekali kami coba
untuk memanggil meski hasilnya tetap nihil. Tidak ada satupun yang dapat
mendengar kami.
Zahra
kembali menyenteri jalur yang baru saja kami lalui, masih gelap, tak ada
satupun bayangan manusia yang terlihat. Lagi-lagi hanya suara angin dan
lantunan Ayat Suci Al-Qur'an yang terdengar dari handphone milik Zahra. Tangan
kami masih terus berpegangan, bahkan semakin erat. Malam itu kami mungkin telah
pasrah, namun masih tetap berdoa dalam hati agar tetap kuat sampai akhirnya
bisa berkumpul kembali bersama teman-teman kami. Dengan udara yang semakin
dingin menusuk tulang dan peralatan kami yang seadanya, kami sadar bahwa
seharusnya kami terus bergerak agar tidak terserang hipotermia, namun karena
stamina kami yang mulai menurun dan ketakutan kami untuk terlalu jauh
meninggalkan Apis, Insan dan Iqmal, kami memutuskan untuk terus menunggu sampai
mereka datang.
Dalam
remang cahaya bulan saya melihat wajah Zahra yang sedikit pucat, mungkin wajah
saya pun sama. Kami sudah terlalu lelah dan terlalu kedinginan di sini.
Beberapa kali saya diserang rasa kantuk namun saya tahan, saya terus berkata
dalam hati "Jangan tidur!". Setidaknya dalam keadaan seperti
ini saya harus berupaya agar otak tetap berfungsi, begitu juga Zahra, matanya
sesekali hendak terpejam namun ia tahan. Namun, mungkin karena sangat kelelahan
atau bahkan pengaruh dari gejala hipotermia, ia mulai memejamkan
matanya. Saya yang saat itu tidak sengaja menoleh ke arahnya menepuk-nepuk
pundaknya dengan cukup keras sembari sedikit menaikan nada bicara "Zahra!
Jangan tidur Zar!". Saya sedikit panik, Zahra juga. Ia tersentak lalu
bangun, "Ya Allah... Untung lu bangunin gue...". Jangan sampai
kami tertidur dengan udara yang dingin menyelimuti kami, kami harus tetap
terjaga walaupun harus menunggu sampai pagi datang.
Waktu
sudah menunjukkan hampir jam setengah 12 malam. Kami mencoba berteriak sekali
lagi memanggil Insan, Iqmal dan Apis di bawah sana meski tidak ada yang
menyahuti. Beberapa kali kami mencoba sampai akhirnya terdengar sayup-sayup
suara dari kejauhan memanggil "Kak Zahraaa... Kak Tiaraaa...". Sontak
kami berteriak lebih kencang lagi mendengar suara tersebut yang sepertinya
adalah suara Iqmal. "Iqmaaaal, Apiiiss, Insaaann... Kita di sini!!!"
kami mencoba memberi tahu posisi kami yang kemudian ditimpali lagi oleh Iqmal.
Kami kemudian mencoba memberi tanda dengan meniupkan peluit. Beberapakali kami
bersahutan sampai wajah Iqmal, Apis dan Insan terlihat dari sorot lampu senter
kami. Akhirnya mereka datang. Seluruh tubuh mereka penuh oleh peluh, wajah
mereka pucat pasi, Apis dan Insan lalu membanting carrier milik saya dan
Zahra ke bawah tanah lalu mereka duduk mengistirahatkan tubuh mereka yang
kelelahan hebat.
Kami
berlima akhirnya berkumpul lagi. Kami mengambil waktu beberapa menit lagi untuk
beristirahat, khususnya untuk Iqmal, Apis dan Insan. Saya mengambil jaket yang
berada dalam carrier saya untuk dipakai. Saat itu saya duduk berdampingan
dengan Iqmal, tidak ada yang janggal saat itu. Suasana sunyi hanya berteman
suara angin yang mengalun di telinga sampai pada akhirnya kami berdua mendengar
suara gesekan dari semak-semak belukar di belakang kami. Sontak kami berdua
melihat ke belakang, tak ada apapun di sana, kami kemudian saling pandang lalu
melempar pandangan kami pada teman-teman yang lain, sepertinya tidak ada yang
mendengar, padahal suara itu terdengar lumayan besar. Saya dan Iqmal tanpa
aba-aba kemudian menggeser tubuh kami mendekati yang lain dan terdiam tanpa
sepatah katapun. Dalam pikiran saya, saya mencoba untuk tetap positif. Mungkin
saja itu serangga atau binatang yang numpang lewat, tapi entah apakah Iqmal
juga memiliki pikirkan yang sama dengan saya saat itu.
Setelah
dirasa cukup, kami bergegas kembali melanjutkan perjalanan. Jangan lagi
membuang waktu, selain semakin larut kami juga sudah semakin lelah, kami harus
segera sampai ke shelter 5 untuk mendirikan tenda dan beristirahat. Saat
itu jalan sudah semakin menanjak namun pepohonan semakin pendek, suara para
pendaki juga semakin jelas. Kami mempercepat langkah kami sampai tiba di tanah
yang cukup lapang, beberapa pendaki terlihat lalu lalang, ada juga yang sibuk
meminum kopinya sambil memandangi bintang. Kami semakin mempercepat langkah,
akhirnya sampai, setelah perjalanan yang cukup panjang. Iqmal terduduk saat
itu, wajahnya pucat "Kak, Iqmal mau muntah..." ujarnya saat
itu. Kami lalu bertanya kepada beberapa pendaki lain tempat untuk mendirikan
tenda yang paling dekat dengan puncak. Tidak jarang juga yang bertanya pada
kami mengapa kami sampai ke sini terlalu malam, sampai akhirnya kami menemukan
tempat yang pas untuk mendirikan tenda. Tidak berlama-lama, kami segera
memasang tenda, membereskan barang-barang, mengganti baju kami dan menyantap
makanan yang kami bawa, saat itu rasa letih kami berangsur membaik.
Setelah
perjalanan yang panjang, kami akhirnya bisa beristirahat, bahkan kami bangun
cukup siang keesokan harinya karena terlalu lelah. Setelah bangun kami membuat
makanan dan kopi serta membuka beberapa camilan untuk melengkapi brunch kami di
Sibuatan kala itu. Melihat waktu yang sudah semakin siang karena kami bangun
telat dan mengingat kesalahan perkiraan waktu saat kami mendaki kemarin, akhirnya
kami memutuskan untuk tidak summit, waktu yang sempit dan rasa takut akan
kemalaman saat di perjalanan pulang nanti membuat kami mengubur semua keinginan
kami untuk menikmati puncak dari Gunung Sibuatan. Beberapa pendaki yang lain
juga menyarankan agar kami tinggal satu malam lagi di sini, meski kami juga
ingin, kenyataannya waktu kami tidak banyak, ada beberapa urusan di kehidupan
nyata yang tidak bisa kami tinggalkan.
Shelter 5 Gunung Sibuatan |
Setelah
membereskan tenda, barang-barang dan berfoto sebentar, kami akhirnya turun
meninggalkan shelter 5, meninggalkan puncak Gunung Sibuatan yang belum
sempat kami jamah. Tidak mengapa bagi kami, puncak tidak akan pernah pergi
kemana-mana, ia akan tetap berada pada tempatnya. Mungkin belum saat ini
kesempatan itu datang, ada beberapa hal yang lebih penting dari pada sebuah
puncak. Puncak hanyalah bonus, ia tidak membuat manusia jadi hebat hanya karena
berada di sana, namun proses saat perjalanan menuju puncaklah yang membuat
manusia menjadi lebih kuat dan lebih berani.
The
End...
Komentar
Posting Komentar