Langsung ke konten utama

Gunung Sibuatan Part 3 : Puncak Bukan Segalanya







Melanjutkan kisah sebelumnya...

Saya dan Zahra berdiam diri, membaca banyak doa sembari berpegangan tangan untuk menghangatkan jari-jari kami yang mulai terasa membeku. Dalam sunyi malam saat itu, kami hanya bisa berharap teman-teman kami yang lain dapat segera menyusul kami. Sesekali suara kehidupan dari atas sana terdengar dan sesekali kami coba untuk memanggil meski hasilnya tetap nihil. Tidak ada satupun yang dapat mendengar kami.

Zahra kembali menyenteri jalur yang baru saja kami lalui, masih gelap, tak ada satupun bayangan manusia yang terlihat. Lagi-lagi hanya suara angin dan lantunan Ayat Suci Al-Qur'an yang terdengar dari handphone milik Zahra. Tangan kami masih terus berpegangan, bahkan semakin erat. Malam itu kami mungkin telah pasrah, namun masih tetap berdoa dalam hati agar tetap kuat sampai akhirnya bisa berkumpul kembali bersama teman-teman kami. Dengan udara yang semakin dingin menusuk tulang dan peralatan kami yang seadanya, kami sadar bahwa seharusnya kami terus bergerak agar tidak terserang hipotermia, namun karena stamina kami yang mulai menurun dan ketakutan kami untuk terlalu jauh meninggalkan Apis, Insan dan Iqmal, kami memutuskan untuk terus menunggu sampai mereka datang.

Dalam remang cahaya bulan saya melihat wajah Zahra yang sedikit pucat, mungkin wajah saya pun sama. Kami sudah terlalu lelah dan terlalu kedinginan di sini. Beberapa kali saya diserang rasa kantuk namun saya tahan, saya terus berkata dalam hati "Jangan tidur!". Setidaknya dalam keadaan seperti ini saya harus berupaya agar otak tetap berfungsi, begitu juga Zahra, matanya sesekali hendak terpejam namun ia tahan. Namun, mungkin karena sangat kelelahan atau bahkan pengaruh dari gejala hipotermia, ia mulai memejamkan matanya. Saya yang saat itu tidak sengaja menoleh ke arahnya menepuk-nepuk pundaknya dengan cukup keras sembari sedikit menaikan nada bicara "Zahra! Jangan tidur Zar!". Saya sedikit panik, Zahra juga. Ia tersentak lalu bangun, "Ya Allah... Untung lu bangunin gue...". Jangan sampai kami tertidur dengan udara yang dingin menyelimuti kami, kami harus tetap terjaga walaupun harus menunggu sampai pagi datang.

Waktu sudah menunjukkan hampir jam setengah 12 malam. Kami mencoba berteriak sekali lagi memanggil Insan, Iqmal dan Apis di bawah sana meski tidak ada yang menyahuti. Beberapa kali kami mencoba sampai akhirnya terdengar sayup-sayup suara dari kejauhan memanggil "Kak Zahraaa... Kak Tiaraaa...". Sontak kami berteriak lebih kencang lagi mendengar suara tersebut yang sepertinya adalah suara Iqmal. "Iqmaaaal, Apiiiss, Insaaann... Kita di sini!!!" kami mencoba memberi tahu posisi kami yang kemudian ditimpali lagi oleh Iqmal. Kami kemudian mencoba memberi tanda dengan meniupkan peluit. Beberapakali kami bersahutan sampai wajah Iqmal, Apis dan Insan terlihat dari sorot lampu senter kami. Akhirnya mereka datang. Seluruh tubuh mereka penuh oleh peluh, wajah mereka pucat pasi, Apis dan Insan lalu membanting carrier milik saya dan Zahra ke bawah tanah lalu mereka duduk mengistirahatkan tubuh mereka yang kelelahan hebat.

Kami berlima akhirnya berkumpul lagi. Kami mengambil waktu beberapa menit lagi untuk beristirahat, khususnya untuk Iqmal, Apis dan Insan. Saya mengambil jaket yang berada dalam carrier saya untuk dipakai. Saat itu saya duduk berdampingan dengan Iqmal, tidak ada yang janggal saat itu. Suasana sunyi hanya berteman suara angin yang mengalun di telinga sampai pada akhirnya kami berdua mendengar suara gesekan dari semak-semak belukar di belakang kami. Sontak kami berdua melihat ke belakang, tak ada apapun di sana, kami kemudian saling pandang lalu melempar pandangan kami pada teman-teman yang lain, sepertinya tidak ada yang mendengar, padahal suara itu terdengar lumayan besar. Saya dan Iqmal tanpa aba-aba kemudian menggeser tubuh kami mendekati yang lain dan terdiam tanpa sepatah katapun. Dalam pikiran saya, saya mencoba untuk tetap positif. Mungkin saja itu serangga atau binatang yang numpang lewat, tapi entah apakah Iqmal juga memiliki pikirkan yang sama dengan saya saat itu.

Setelah dirasa cukup, kami bergegas kembali melanjutkan perjalanan. Jangan lagi membuang waktu, selain semakin larut kami juga sudah semakin lelah, kami harus segera sampai ke shelter 5 untuk mendirikan tenda dan beristirahat. Saat itu jalan sudah semakin menanjak namun pepohonan semakin pendek, suara para pendaki juga semakin jelas. Kami mempercepat langkah kami sampai tiba di tanah yang cukup lapang, beberapa pendaki terlihat lalu lalang, ada juga yang sibuk meminum kopinya sambil memandangi bintang. Kami semakin mempercepat langkah, akhirnya sampai, setelah perjalanan yang cukup panjang. Iqmal terduduk saat itu, wajahnya pucat "Kak, Iqmal mau muntah..." ujarnya saat itu. Kami lalu bertanya kepada beberapa pendaki lain tempat untuk mendirikan tenda yang paling dekat dengan puncak. Tidak jarang juga yang bertanya pada kami mengapa kami sampai ke sini terlalu malam, sampai akhirnya kami menemukan tempat yang pas untuk mendirikan tenda. Tidak berlama-lama, kami segera memasang tenda, membereskan barang-barang, mengganti baju kami dan menyantap makanan yang kami bawa, saat itu rasa letih kami berangsur membaik.

Setelah perjalanan yang panjang, kami akhirnya bisa beristirahat, bahkan kami bangun cukup siang keesokan harinya karena terlalu lelah. Setelah bangun kami membuat makanan dan kopi serta membuka beberapa camilan untuk melengkapi brunch kami di Sibuatan kala itu. Melihat waktu yang sudah semakin siang karena kami bangun telat dan mengingat kesalahan perkiraan waktu saat kami mendaki kemarin, akhirnya kami memutuskan untuk tidak summit, waktu yang sempit dan rasa takut akan kemalaman saat di perjalanan pulang nanti membuat kami mengubur semua keinginan kami untuk menikmati puncak dari Gunung Sibuatan. Beberapa pendaki yang lain juga menyarankan agar kami tinggal satu malam lagi di sini, meski kami juga ingin, kenyataannya waktu kami tidak banyak, ada beberapa urusan di kehidupan nyata yang tidak bisa kami tinggalkan.


Shelter 5 Gunung Sibuatan


Setelah membereskan tenda, barang-barang dan berfoto sebentar, kami akhirnya turun meninggalkan shelter 5, meninggalkan puncak Gunung Sibuatan yang belum sempat kami jamah. Tidak mengapa bagi kami, puncak tidak akan pernah pergi kemana-mana, ia akan tetap berada pada tempatnya. Mungkin belum saat ini kesempatan itu datang, ada beberapa hal yang lebih penting dari pada sebuah puncak. Puncak hanyalah bonus, ia tidak membuat manusia jadi hebat hanya karena berada di sana, namun proses saat perjalanan menuju puncaklah yang membuat manusia menjadi lebih kuat dan lebih berani.



The End...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gunung Sibuatan Part 1 : Perkenalan Yang Menyakitkan

  16 Februari 2018, merupakan hari pertama saya menginjakkan kaki di Gunung Sibuatan, Sumatera Utara. Berawal dari seorang teman yang bertanya kepada saya tentang detail lokasi dan keadaan Gunung Sibuatan, lama-lama berakhir dengan ajakan mendaki bersama. Gunung Sibuatan terletak di Desa Nagalingga, Kab. Karo dan merupakan gunung tertinggi di Provinsi Sumatera Utara dengan ketinggian 2.457 mdpl. Singkat cerita setelah semalaman menginap di kost teman di Kabanjahe, saya, sahabat saya Zahra dan tiga orang lainnya yaitu Apis, Iqmal dan Insan berangkat menuju Desa Nagalingga dengan menggunakan tiga buah sepeda motor. Beberapa hari sebelum kami berangkat, seperti biasa kami membuat group chat untuk membahas bagaimana keadaan tempat yang akan kami tuju, apa saja kendala yang akan dialami, waktu untuk mencapai tempat tersebut, masalah transportasi, logistik dan hal-hal lain yang harus dipersiapkan sebelum pergi. Dari kesepakatan, kami seharusnya berangkat pagi-pagi sekitar j...

Gunung Sibuatan Part 2 : Kami Berada di Tengah Sepi

Melanjutkan kisah sebelumnya... Setelah sekitar hampir satu jam kami beristirahat, kami kembali memulai pendakian. Dari shelter 4 menuju shelter 5 memiliki jalur yang bisa dibilang cukup extreme . Jalur dengan tanjakan yang terbuat dari akar-akar besar dan tinggi membuat kami menelan ludah dibuatnya belum lagi udara semakin dingin perlahan mulai terasa menusuk sampai ke tulang dan saya pun semakin resah memikirkan keadaan kaki saya yang sering kumat-kumatan. Sebelum melanjutkan pendakian tak lupa kami berdoa dalam hati kami masing-masing memohon kepada Sang Pencipta agar diberi keselamatan dalam perjalanan mengingat kami kembali mendaki diwaktu hampir gelap. Setelah mengemas barang-barang dan mempersiapkan diri, kami mulai mendaki dengan ritme sedikit cepat. Formasi masih sama dengan sebelumnya, tetap Apis dan Iqmal di depan saya dan Zahra, sementara Insan bersiaga di belakang kami berdua. Dengan tracking pole di tangan sebelah kanan, saya mulai menanjaki akar-akar...

Intermezzo : Ucapkan Setiap Hari "Aku Bersyukur..."

Syukur adalah sebuah hal yang diidamkan banyak orang untuk bisa dirasakan dengan sangat mudah, tetapi kenyataannya tidaklah mudah. Rasa syukur adalah perasaan yang wajib manusia miliki agar tetap hidup membumi, agar tetap merasa cukup dengan apa yang telah dimiliki, agar senantiasa berterimakasih dan merasa beruntung dengan segala hal yang terjadi dalam hidup. Hari Jum'at sore setelah saya dan Zahra selesai mengunjungi salah satu festival yang diadakan di Senayan kami pulang ke rumah kami masing-masing. Zahra menggunakan Commuter Line jurusan Bogor, sedang saya menaiki Commuter Line jurusan Tanah Abang untuk selanjutnya turun di Duri dan berpindah kereta jurusan ke Tangerang. Perjalanan sore itu cukup melelahkan untuk saya, naik kereta dari Stasiun Duri menuju Tangerang, saya harus sedikit berdesakkan dan berebut tempat duduk karena padatnya penumpang saat itu. Perjalanan dengan kendaraan umum memang tidak pernah nyaman dan tidak pernah mudah. Terkadang harus berdesa...