Langsung ke konten utama

Cerita dari Bukit Lawang : Mencari Sang Primadona





Sabtu, 02 september 2017 menjadi awal perjalanan saya dan dua teman saya menuju Bukit Lawang-Langkat, Sumatera Utara. Bukit Lawang merupakan tempat wisata alam yang masih berada di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser. Tempat ini terkenal sebagai tempat konservasi Orang Utan Sumatera. Bukan hanya Orang Utan Sumatera, tempat ini juga menyuguhkan pemandangan alam yang masih asri serta berbagai macam flora maupun fauna yang hidup liar di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser. 
 
Berbekal informasi lewat internet, kami akhirnya memutuskan untuk mengunjungi tempat tersebut. Saya dan salah satu teman saya berdomisili di Kabanjahe, Kab. Karo sehingga harus mengawali perjalanan dengan menaiki bus Sinabung dari terminal Kabanjahe menuju Kota Medan untuk kemudian melanjutkan perjalanan ke Bukit Lawang. Kami berangkat dari terminal sekitar jam 15.00 WIB dikarenakan ada beberapa urusan yang tidak bisa ditinggal begitu saja. Waktu yang kami tempuh cukup lama, biasanya kami hanya membutuhkan waktu 2 jam untuk bisa sampai ke Kota Medan, tapi karena jalanan macet di beberapa titik, waktu yang kami tempuh menjadi lebih panjang, sekitar 3 jam perjalanan. Sampai di Simpang Pos Jamin Ginting, Medan kami menunggu bus Almashar untuk pergi ke Binjai bertemu dengan salah satu teman seperjalanan kami. Karena sudah menunggu cukup lama bus tersebut tak kunjung datang, kami memutuskan untuk menaiki angkot menuju Pinang Baris dilanjutkan menaiki angkot menuju Binjai. Namun lagi-lagi, macet menjadi kendala sehingga perjalanan kami terasa melambat.

Sekitar pukul 19.30 WIB kami sampai di Tanah Lapang, Binjai untuk bertemu dengan teman kami yang lain. Tanah Lapang merupakan tempat bus Pembangunan Semesta mengambil penumpang. Bus ini merupakan kendaraan umum dengan jurusan Bukit Lawang dan saat itu bus yang kami tumpangi adalah bus terakhir yang beroperasi. Setelah kami bertiga bertemu, kami menaiki bus tersebut. Cukup lama kami menunggu di dalam bus, namun setelah beberapa saat, bus tersebut akhirnya berangkat sekitar pukul 20.00 WIB.

Perjalanan dari Tanah Lapang menuju Bukit Lawang ternyata cukup lama. Butuh waktu sekitar 3-4 jam untuk sampai kesana. Dengan kondisi jalan yang tidak begitu mulus dan keadaan tubuh yang cukup lelah akibat perjalanan panjang dari Kabanjahe membuat saya sedikit tak enak badan. Namun, meskipun begitu saya tetap menikmati perjalanan tersebut karena saya meyakini yang menjadi kenangan paling berkesan bukanlah menemukan apa yang menjadi tujuan kita melainkan proses saat kita mencapainya.

Setelah mencicipi hebatnya goncangan akibat jalanan yang rusak, akhirnya kami sampai di terminal Bukit Lawang sekitar pukul 23.00 WIB. Dari terminal kami menaiki bentor (becak motor) untuk sampai di kawasan wisata Bukit Lawang. Sampai disana, kami disambut dengan suara riak air sungai serta toko-toko souvernir, baju, penginapan maupun restoran yang berada di kiri dan kanan jalan, senyum dan rasa bahagia mulai terukir di wajah kami yang lelah. Belum lagi kami memasuki goa buatan lengkap dengan lampu-lampunya yang indah. Setelah bertanya kepada beberapa warga di sana, kami akhirnya berjalan mencari tempat untuk mendirikan tenda. Ekspektasi hanyalah sebuah ekspektasi, kami membayangkan bisa berkemah di tepian sungai Bahorok. Namun apalah daya, karena kurangnya kami dalam mencari informasi, kami kubur bayangan tersebut jauh-jauh.

Goa menuju kawasan Bukit Lawang.

Di kawasan tersebut memang ada camping ground, namun tempat tersebut bukanlah seperti apa yang kami harapkan. Hanya sebuah tanah lapang di depan rumah-rumah penginapan yang menghadap ke sungai. Salah satu pengelola penginapan disana bilang bahwa camping ground ini biasa digunakan oleh acara anak-anak sekolah seperti kegiatan pramuka dan di kawasan tersebut para wisatawan lokal maupun manca negara lebih sering menginap di rumah-rumah penginapan milik warga setempat. Beliau juga mengatakan, jika ingin berkemah di tepian sungai bisa saja, namun harus tracking menembus hutan untuk bisa sampai kesana, tapi untuk saat ini sungai sedang banjir sehingga tidak mungkin untuk berkemah di sana, selain itu waktu juga sudah terlalu larut untuk tracking. Rasa kecewa menghampiri kami saat itu, pantas saja beberapa orang yang berpapasan dengan kami memandang kami dengan tatapan yang cukup aneh. Semua karena penampilan kami yang terlihat seperti ingin menaiki gunung lengkap dengan carrier, tenda dan matras. Kami hanya bisa berkeluh kesah karena keadaan yang tidak mendukung kami untuk tidur berdampingan dengan alam. Dengan berat hati kami mendirikan tenda di area camping ground, mencoba menerima apapun yang terjadi saat itu. Tubuh yang tadinya tidak merasakan lelah karena membayangkan tidur di tepian sungai dengan dipagari oleh pohon-pohon yang menjulang tinggi akhirnya dirasa tumbang juga.

Sungai Bahorok. Pemandangan dari camping ground
Taman Nasional Gunung Leuser. Pemandangan dari camping ground.

Setelah tenda berhasil didirikan, kami beristirahat di dalam. Nasi bungkus yang kami beli untuk kami makan juga terbengkalai akibat rasa kecewa yang kami rasakan. Meskipun dari camping ground kami masih bisa mendengarkan suara derasnya aliran sungai, namun kami tetap merasa semuanya berbeda dari apa yang kami harapkan. Sempat kami berpikir untuk pulang dini hari karena merasa tak mendapat apa yang kami mau, tapi ada satu kalimat bijak dari salah satu teman yang membuat kecewa saya sedikit hilang dan hati saya sedikit rela untuk menerima situasi yang kami alami sekarang. Kalimat itu berbunyi “Sabar, pasti akan ada sesuatu yang indah besok pagi”, salah satu kalimat ajaib yang mungkin itu juga adalah sebuah doa sehingga merubah harapan kami yang telah pupus menjadi kenyataan yang benar-benar manis untuk dikenang.

Minggu, 03 september 2017 pukul 09.00 WIB. Kami bangun dari tidur lelap, ada beberapa suara motor yang lewat di belakang kami serta beberapa langkah kaki. Benar-benar keadaan yang sama sekali tidak diharapkan. Setelah bangun kami memasak persediaan makanan untuk sarapan, saat sarapan kami sedikit berbincang-bincang mengenai apa yang akan kami lakukan setelah ini, pulang dengan tangan kosong atau tetap mencoba peruntungan. Selesai sarapan akhirnya kami sepakat untuk melanjutkan perjalanan, bisa jadi pagi ini kami beruntung. Setelah selesai sarapan serta merapihkan tenda dan barang-barang ke dalam tas, kami akhirnya melanjutkan petualangan mencari peruntungan yang tidak kami cicipi tadi malam. Dengan beberapa informasi yang kami dapat dari seorang warga, kami berjalan mencari seorang guide yang mungkin bisa membantu kami untuk tracking ke dalam hutan. Dalam perjalanan kami menemukan dua orang tour guide yang bisa membawa kami untuk tracking, namun karena harganya yang belum cocok dengan budget kami (maklum saja, perkiraan kami salah akibat informasi yang kurang), akhirnya kami mencoba mencari tour guide lain. Di tengah perjalanan, dua tour guide yang tadi sempat menawari kami mengejar lalu menghampiri, kembali terjadi kegiatan tawar menawar, akhirnya kami mencapai kesepakatan.

Sebelum tracking, kami memisahkan beberapa barang untuk dibawa dan ditinggal. Barang-barang yang kami perlu bawa diantaranya adalah barang-barang berharga, beberapa makanan dan tentunya minuman, selebihnya ditinggal untuk dititipkan ditempat kenalan tour guide kami. Tak lupa para tour guide juga membawa satu tandan pisang dan sebotol minuman untuk bekal kami dan makanan bagi Orang Utan yang mungkin beruntung kami temui. Sebelum berangkat kami berdoa agar selamat dalam perjalanan dan bisa kembali tanpa kekurangan sesuatu apapun, kegiatan yang tentu saja wajib bagi kita semua lakukan kemanapun dan dimanapun kita berada.

Tracking dimulai, dengan hati yang menggebu kami berjalan menyusuri jalan setapak menuju ke dalam hutan. Sungguh perjalanan yang kami tunggu-tunggu. Beberapa menit kami menyusuri jalan setapak menaiki bukit, melewati beberapa penginapan yang mempunyai konsep menyatu dengan alam, akhirnya kami memasuki kawasan Taman Nasional Gunung Leuser. Suasana alam liar langsung saya rasakan, suara decitan burung, pohon-pohon yang menjulang lengkap dengan akar-akar besarnya yang berkelok serta jalanan dengan tanah-tanah yang becek membuat saya dan tentu saja kedua teman saya semakin bersemangat untuk menyusuri hutan lebih dalam. Baru kira-kira setengah jam perjalanan, kami dikejutkan dengan seekor hewan yang bergelantungan di dahan-dahan pohon, kami terkejut dan takjub, kami pikir itu adalah seekor orang utan kecil yang sedang bermain-main, tapi ternyata seekor monyet hitam. Kami menunggu monyet hitam itu turun menyambangi kami sembari para tour guide memancing dengan mengeluarkan suara-suara aneh mirip dengan suara kera, namun setelah beberapa saat kami menunggu, monyet itu akhirnya malah pergi. Kami pun kembali melanjutkan perjalanan, tapi lagi-lagi baru beberapa menit, kami di kunjungi oleh monyet berbulu abu-abu dengan bokongnya yang berwarna merah. Kembali kami terkejut dan merasa senang, tour guide kami mencoba membuat monyet itu tenang dengan memberi pisang yang mereka bawa tadi agar kami bisa puas mengabadikan gambar monyet tersebut. Cukup lama kami dikunjungi, setelah monyet itu puas membuat hati wisatawan-wisatawan seperti kami gembira, hewan unik itu pun melenggang pergi.

Pohon-pohon yang tinggi menjulang.
Mencari Sang Primadona yang bersembunyi.

Masih teringat jelas di kepala saya bagaimana nikmatnya menjelajahi alam bebas, tanah basah yang saya tapaki, pohon-pohon tinggi serta tumbuhan-tumbuhan yang menjadi tameng, rumah dan sumber makanan bagi hewan-hewan liar yang ada di hutan serta sungai jernih yang menjadi sumber kehidupan bukan hanya bagi flora dan fauna namun juga bagi warga-warga yang tinggal di kawasan ini. Dalam setiap perjalanan saya, saya selalu menemui berbagai macam pelajaran hidup yang mungkin tidak saya dapat di tempat lain. Di sini saya jadi belajar bagaimana manusia, hewan serta alam dapat hidup berdampingan bahkan bersimbiosis mutualisme. Kerjasama yang dilakukan secara alami tanpa harus merugikan salah satu pihak. Dengan keberagaman flora dan fauna di kawasan ini dapat menjadi sumber kehidupan dan kebahagiaan bagi manusia, namun di sisi lain manusia yang mengelola tetap menjaga alam sehingga tetap berfungsi dengan semestinya. Keseimbangan yang tercipta membuat mata saya semakin terbuka bahwa hidup bukan hanya bagaimana caranya menghasilkan tapi tak mengindahkan keseimbangan yang harusnya tetap ada, namun hidup adalah menghasilkan dan mengeksplor potensi yang terlihat dengan tetap menjaga apa yang seharusnya bisa dijaga. Masih terbayang bagaimana rasanya meminum air sungai yang jernih yang saya dan teman-teman saya temukan di dalam hutan, segar. Air sejernih dan sesegar itu tidak pernah saya temukan dalam kehidupan saya sehari-hari, mungkin untuk orang lain yang membaca catatan ini, itu hanya pengalaman kecil yang tidak berarti apa-apa, tapi untuk saya ini adalah pengalaman berharga. Untuk saya yang hidup di lingkungan penuh dengan polusi dan sampah, menemukan hal sederhana seperti ini adalah sesuatu yang memberikan saya pelajaran besar untuk senantiasa menjadi manusia yang bijak dalam menggunakan sumber daya alam yang telah Allah Subhanahuwata’ala karuniakan.

Jalur tracking Bukit Lawang. Akar-akar yang besar dan berkelok-kelok.
Berhenti sejenak beristirahat sambil memantau Orang Utan Sumatera.
Dahan yang menggantung dan melengkung. Wahana menyenangkan di alam bebas.

Setelah lebih dari setengah perjalanan kami tempuh, kami menjumpai sesuatu yang kami tunggu-tunggu dari awal perjalanan. Ya, Sang Primadona Bukit Lawang tengah asik bertengger di salah satu batang bambu. Dengan bulu-bulu merahnya serta kaki dan tangannya yang panjang, mamalia Sumatera itu membuat mata kami berbinar dan hati kami berbahagia. Keberuntungan yang kami jumpai dalam keadaan lelah dan panas. Semuanya seketika dirasa terbayar, semuanya seketika luntur karena melihat orang utan itu dengan tenangnya berdiri seolah tahu bahwa kami sangat menantikan kehadirannya. Mata kami benar-benar dimanjakan oleh sosok primadona kawasan Bukit Lawang ini serta beberapa monyet-monyet kecil yang sibuk berlari-lari dan bergelantungan kesana-kemari. Dengan sigap para tour guide kembali memberikan pisang-pisang yang dibawanya agar orang utan itu tetap nyaman berada di tempatnya. Ada beberapa arahan dari tour guide agar kami tetap aman meskipun berada dekat dengan orang utan. Kami dilarang untuk mengabadikan gambar orang utan menggunakan flashlight dari kamera, kami dilarang untuk gaduh serta tetap menjaga jarak dengan orang utan, bagaimanapun juga mamalia yang ada di depan kami adalah hewan yang hidup liar di dalam hutan jadi kami harus tetap berhati-hati agar bisa pulang tanpa membawa luka cakaran atau gigitan.

Pertamakali bertemu Sang Primadona.
Buah dari kesabaran. Orang Utan Sumatera.
Monyet-monyet kecil di sekeliling Sang Primadona.
Penghibur di tengah perjalanan.


Selesai bercengkrama dengan orang utan, kami melanjutkan perjalanan. Di penghujung perjalanan, kami menemukan tempat yang ternyata dulunya adalah kawasan konservasi Orang Utan Sumatera, kawasan yang dulunya membebaskan wisatawan untuk bisa berdekatan lebih intim dengan orang utan kini tak lagi beroperasi, karena beberapa alasan, sekarang konservasi tersebut di tiadakan dan membiarkan orang utan hidup bebas dan liar di dalam kawasan Taman Nasional Gunung Leuser. Untuk mengakhiri petualangan kami di Bukit Lawang, kami melakukan tubing (menyusuri sungai dengan menggunakan ban yang disusun seperti perahu) mengikuti derasnya arus Sungai Bahorok. Bermodalkan kayu untuk menjadi setir, dua tour guide kami dengan santai menjadi driver handal yang dengan gagah berani mengarungi hantaman demi hantaman arus sungai. Meski sedikit khawatir ban yang kami tumpangi bisa saja sewaktu-waktu terbalik tapi suasana tetap menyenangkan apalagi disuguhi dengan nyanyian Jungle Taxi oleh salah seorang tour guide kami yang nadanya di ambil dari film animasi “Madagascar”.

Kawasan konservasi Orang Utan Sumatera
Penting untuk dibaca bagi para wisatawan.

Perjalanan dengan tubing hanya kami tempuh kurang dari setengah jam saja, tetapi tetap berkesan, meskipun rasanya kurang dengan waktu tracking hanya sekitar 2-3 jam dan tubing kurang dari setengah jam, namun sudah cukup membayar kesedihan yang kami rasakan tadi malam. Benar apa yang dikatakan salah satu teman saya tadi malam “sabar”, salah satu kata yang akhirnya saya ingat dan kembali memberi saya pelajaran berharga. Jangan pernah mengeluh ketika berada dalam kesulitan atau berlarut-larut dalam merasakan kesedihan dan kekecewaan, bersabarlah, tetaplah berikhtiar, Allah sedang menyiapkan sesuatu yang indah untuk mengganti semuanya dengan yang lebih baik. Dan benar saja, apa yang kami alami selama tracking sampai akhirnya tubing di sungai Bahorok adalah buah manis dari kesabaran kami dalam memerangi rasa kecewa kami terhadap keadaan yang tidak menyenangkan dan akhirnya menjadi sebuah kenangan berharga untuk bisa kami ceritakan pada anak dan cucu kami di masa depan.

Tepian Sungai Bahorok, Bukit Lawang.
Wajah bahagia. Buah dari kesabaran menyisakan akhir perjalanan yang manis.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gunung Sibuatan Part 1 : Perkenalan Yang Menyakitkan

  16 Februari 2018, merupakan hari pertama saya menginjakkan kaki di Gunung Sibuatan, Sumatera Utara. Berawal dari seorang teman yang bertanya kepada saya tentang detail lokasi dan keadaan Gunung Sibuatan, lama-lama berakhir dengan ajakan mendaki bersama. Gunung Sibuatan terletak di Desa Nagalingga, Kab. Karo dan merupakan gunung tertinggi di Provinsi Sumatera Utara dengan ketinggian 2.457 mdpl. Singkat cerita setelah semalaman menginap di kost teman di Kabanjahe, saya, sahabat saya Zahra dan tiga orang lainnya yaitu Apis, Iqmal dan Insan berangkat menuju Desa Nagalingga dengan menggunakan tiga buah sepeda motor. Beberapa hari sebelum kami berangkat, seperti biasa kami membuat group chat untuk membahas bagaimana keadaan tempat yang akan kami tuju, apa saja kendala yang akan dialami, waktu untuk mencapai tempat tersebut, masalah transportasi, logistik dan hal-hal lain yang harus dipersiapkan sebelum pergi. Dari kesepakatan, kami seharusnya berangkat pagi-pagi sekitar j...

Gunung Sibuatan Part 2 : Kami Berada di Tengah Sepi

Melanjutkan kisah sebelumnya... Setelah sekitar hampir satu jam kami beristirahat, kami kembali memulai pendakian. Dari shelter 4 menuju shelter 5 memiliki jalur yang bisa dibilang cukup extreme . Jalur dengan tanjakan yang terbuat dari akar-akar besar dan tinggi membuat kami menelan ludah dibuatnya belum lagi udara semakin dingin perlahan mulai terasa menusuk sampai ke tulang dan saya pun semakin resah memikirkan keadaan kaki saya yang sering kumat-kumatan. Sebelum melanjutkan pendakian tak lupa kami berdoa dalam hati kami masing-masing memohon kepada Sang Pencipta agar diberi keselamatan dalam perjalanan mengingat kami kembali mendaki diwaktu hampir gelap. Setelah mengemas barang-barang dan mempersiapkan diri, kami mulai mendaki dengan ritme sedikit cepat. Formasi masih sama dengan sebelumnya, tetap Apis dan Iqmal di depan saya dan Zahra, sementara Insan bersiaga di belakang kami berdua. Dengan tracking pole di tangan sebelah kanan, saya mulai menanjaki akar-akar...

Intermezzo : Ucapkan Setiap Hari "Aku Bersyukur..."

Syukur adalah sebuah hal yang diidamkan banyak orang untuk bisa dirasakan dengan sangat mudah, tetapi kenyataannya tidaklah mudah. Rasa syukur adalah perasaan yang wajib manusia miliki agar tetap hidup membumi, agar tetap merasa cukup dengan apa yang telah dimiliki, agar senantiasa berterimakasih dan merasa beruntung dengan segala hal yang terjadi dalam hidup. Hari Jum'at sore setelah saya dan Zahra selesai mengunjungi salah satu festival yang diadakan di Senayan kami pulang ke rumah kami masing-masing. Zahra menggunakan Commuter Line jurusan Bogor, sedang saya menaiki Commuter Line jurusan Tanah Abang untuk selanjutnya turun di Duri dan berpindah kereta jurusan ke Tangerang. Perjalanan sore itu cukup melelahkan untuk saya, naik kereta dari Stasiun Duri menuju Tangerang, saya harus sedikit berdesakkan dan berebut tempat duduk karena padatnya penumpang saat itu. Perjalanan dengan kendaraan umum memang tidak pernah nyaman dan tidak pernah mudah. Terkadang harus berdesa...