Riuh suara bising gerombolan manusia terdengar dari
setiap arah bercampur dengan suara deru mesin kereta api yang datang dan pergi
silih berganti. Jam menunjukkan pukul 16.07 WIB, sore itu saya duduk menunggu
kedatangan kereta api jurusan medan-binjai, berbekal ponsel dan minuman dingin
saya mencoba meredam suara-suara bising yang membuat telinga tak nyaman dengan
membaca sebuah antalogi tentang perjalanan melintasi nusantara. Beberapa cerita
yang saya baca mampu membuat setengah dari alam bawah sadar saya melayang
mengarungi imajinasi. Beberapa tempat yang tersaji dalam antalogi yang saya
baca mampu membuat saya takjub dan bermimpi dapat pergi ke sana suatu hari
nanti. Teluk Tomini di Gorontalo, desa adat Wae Rebo di Flores dan beberapa
tempat yang dideskripsikan dengan sangat detail dan gaya bahasa yang sederhana
membuat saya larut dan sukses membunuh rasa penat karena menunggu.
Beberapa
kali saya melirik jam di layar ponsel, kini waktu sudah menunjukkan waktu 16.45
WIB. Tiket kereta yang tertera jam 17.15 WIB, tinggal 30 menit lagi kereta akan
segera tiba. Dari arah kanan sekumpulan anak-anak dengan ransel di punggungnya
berlari dengan riang lantas berkumpul di depan peron. Gelak tawa mereka
terdengar membahana menyatu dengan ramainya suasana stasiun kereta api sore
itu. Mereka menyita perhatian saya untuk sebentar namun tak lama saya kembali
larut dengan layar ponsel di tangan. Menurut saya layar ponsel yang menampilkan
bacaan inspiratif lebih menarik dibandingkan memperhatikan segerombolan
anak-anak yang tertawa membuat keributan.
Tepat
sepuluh menit sebelum waktu jadwal keberangkatan, kereta yang saya tunggu
datang. Orang-orang yang tadinya duduk mulai berkerumun berdiri di depan peron,
seketika tempat yang tadinya tak terlalu ramai itu penuh sesak oleh
berpuluh-puluh manusia yang bersiap siaga untuk berdesak-desakan merangsek
masuk demi mendapat tempat duduk di dalam kereta. Maklum saja, kereta api
jurusan medan-binjai tidak seperti kereta-api jurusan lubuk pakam, tebing tinggi,
kisaran maupun tanjung balai yang sudah pasti semua akan dapat tempat duduk
dengan fasilitas AC yang membuat perjalanan akan terasa nyaman. Lagi
pula jarak tempuh medan-binjai hanya sekitar 30 menit, kalaupun tidak dapat
tempat duduk, berdiripun dirasa tidak begitu berat apalagi untuk seukuran
dewasa muda seperti saya.
Saya
berdiri di depan peron bersama segerombolan anak-anak yang tadi sempat menyita
perhatian saya. Diantara mereka ada seorang wanita yang mencoba mengatur mereka
untuk berdiri tidak terlalu dekat dengan peron dan membiarkan orang yang ada di
dalam kereta untuk turun terlebih dahulu. “Nanti kalaupun kita enggak dapat
tempat duduk, kita harus tetap satu gerbong ya?” tanya wanita itu yang
sepertinya guru mereka. Anak-anak itu menyaut dengan girang. “Janji ya!?” wanita
itu bertanya sekali lagi, mereka mengangguk sembari kembali menyaut. Saya
melihat ke arah mereka, tampaknya mereka adalah anak-anak SD yang sedang
berdarma wisata.
Seketika
setelah penumpang dari keberangkatan binjai-medan mulai habis, anak-anak itu
menerobos masuk ke dalam gerbong yang sudah hampir penuh, saya berjalan di
belakang mereka lalu ikut masuk ke dalam gerbong. Di dalam sudah penuh dengan
penumpang, tak ada lagi tempat duduk yang tersisa di gerbong yang saya naiki,
beberapa kali saya memperhatikan gerbong di depan dan belakang, semuanya sudah
sesak dengan orang-orang yang sibuk mencari tempat. Dengan pasrah saya menaruh
tas ke hadapan tiang penyangga dan berdiri sambil memegang tiang. Di hadapan
saya sekumpulan anak-anak SD tadi duduk berkumpul di lantai, saat itu suasana
sangat ramai dan sesak serta udara terasa sangat panas namun mereka masih
tertawa dengan riang bahkan menurut saya sangat berisik. Tak lama ponsel saya
berdering, sebuah panggilan tak dikenal yang ternyata adalah seorang sales
girl yang sempat menemui saya saat itu untuk mempromosikan produk yang ia
jual. Ia menghubungi untuk menanyakan bagus atau tidaknya produk yang sempat
diberikan secara cuma-cuma untuk promosi. Pembicaraan saya dengan sales
tersebut dirasa kurang nyaman akibat suara bising yang ada di sekitar saya,
mata saya melirik pada anak-anak SD yang masih sibuk mengobrol dan tertawa
dengan volume yang sangat besar. Saya sedikit mengumpat dalam hati akibat
keadaan yang membuat telinga saya beberapa kali harus ditutup karena berisik.
Setelah memberikan beberapa kesan, sambungan akhirnya dimatikan, tak lama pintu
kereta api mulai tertutup dan kereta api perlahan mulai berjalan melintasi
relnya.
Saya
berdiri menatap wajah-wajah dengan berbagai macam ekspresi yang memenuhi
gerbong tempat saya berada. Orang-orang yang ada di dalam gerbong mulai terdiam
menikmati perjalanan yang cukup lelah dan panas, entah menikmati atau hanya
berusaha menahan penderitaan dan sayapun demikian. Berbeda dengan ekspresi orang-orang yang
tadi saya tangkap, anak-anak yang bergerombol duduk di lantai tetap ceria meski
dengan peluh di sekujur tubuh mereka. Saya melihat ada 3 orang anak laki-laki
yang duduk melingkar memainkan permainan ABC lima dasar (permainan lama di mana
beberapa orang memberikan angka dengan kehendaknya dengan jari mereka lalu di
hitung berdasarkan huruf yang di dapat setelahnya mereka harus mengajukkan nama
binatang, buah atau apapun yang telah disepakati) dengan gelak tawa yang
lagi-lagi membahana membuat seisi gerbong memperhatikan mereka. Seorang wanita
yang sepertinya guru mereka juga ikut tertawa akibat tingkah lucu ketiga
anak-anak itu.
Beberapa kali saya melirik ke arah orang-orang yang
melihat mereka, orang-orang itu sesekali bersungut sungut karena kegaduhan yang
mereka buat, saya menengokkan kepala saya ke sebelah kiri, seorang laki-laki
tampak tertawa ketika melihat tingkah ketiga anak yang duduk di lantai
tersebut. Seorang ibu sesekali menegur dengan wajah masam agar mereka diam
namun ibu dengan wajah masam itupun tak dihiraukan, mereka asik bermain dan menikmati
dunianya. Seketika saya hanyut melihat tawa riang mereka, benar juga, mereka
hanya anak-anak yang tidak tahu panas, tidak tahu kegirangan mereka akan
membuat orang di sekitarnya merasa terganggu dan hanya sibuk dengan
kegembiraannya sendiri.
Melihat mereka saya di bawa ke masa lalu, masa di mana
keluh kesah adalah hal yang jarang diucapkan. Sepanas apapun, sesulit dan
keadaan tidak nyaman seperti apapun yang ada hanya rasa gembira ketika
berkumpul dengan teman-teman. Memainkan permainan sederhana dan tidak ada gadget, tetapi masih bisa hidup dengan sangat menyenangkan. Tanpa disadari bibir saya mengulas senyum,
kalau tadi saat menunggu kereta saya diajak untuk melintasi imajinasi saat ini
saya diajak untuk melintasi kenangan sewaktu kecil dulu. Perjalanan yang cukup
membuat tubuh saya berkeringat tidak lagi begitu terasa, melihat mereka yang
asik bermain dan tertawa meski mengganggu sebagian penghuni gerbong membuat
saya tersadar bahwa waktu cepat sekali berlalu. Kenangan-kenangan masa kecil berputar
di kepala saya memberikan perasaan yang sejuk di hati meskipun tubuh terasa
panas.
Saya masih memandang lekat ke arah 3 bocah yang sedang
asik bermain. Kalau saja nanti kalian menjadi orang dewasa, jangan pernah lupa
kalau kalian pernah tertawa bersama-sama seperti ini ya. Jangan lupa bahwa
kalian bertiga pernah hidup dengan hati yang murni. Kalian akan merasa bahwa waktu
berjalan begitu cepat hingga meninggalkan banyak kenangan yang mungkin sebagian
akan terlupa dan tersisih, karena saat menjadi dewasa hidup terkadang sulit
sehingga menguras waktu dan tenaga, seolah tak ada waktu untuk bisa kembali
mengenang tapi nyatanya ada diwaktu-waktu tertentu dan di beberapa kesempatan
langka kalian akan rindu untuk bersua dengan masa lalu. Berbahagialah dengan
hati-hati kalian yang masih putih sebelum akhirnya ternoda karena persaingan
dan kekejaman perkembangan jaman. Semoga kalian bisa tumbuh dengan baik, jujur
dan bijaksana ditengah-tengah sulit dan pahitnya dunia. Terimakasih karena
telah mengembalikan sebagian ingatan saya yang mungkin sempat terlupa.
Komentar
Posting Komentar